Mac 07, 2009

Belajar Dari Abu Nawas


 


Saya mengagumi Abu Nawas. Ia adalah ulama, sufi, guru yang alim, sekaligus seorang yang lucu tapi sangat cerdas. Ia dekat dengan Raja Harun Al Rasyid, tetapi lebih senang menghabiskan waktunya untuk bergaul dengan orang-orang badui. Dengan cara yang menggelikan, ia menolak sewaktu hendak diangkat menjadi qadi istana (semacam penghulu atau hakim) dan lebih memilih tinggal di desa untuk mengajar murid-muridnya. Dalam bayangan saya, Abu Nawas mungkin mirip tokoh Patch Adams, seorang doktor yang juga dianggap badut gila karena sering bertingkah di luar akal demi menghibur pesakit-pesakitnya.

 

Ada satu kisah Abu Nawas yang saya ingat betul. Wallahu a’lam apakah kisah ini nyata ataukah sekadar karangan Abu Nawas untuk mengajari murid-muridnya. Yang jelas, kisah ini telah menginspirasi saya.

 

Pada suatu hari, tiga orang datang bertamu ke rumah Abu Nawas untuk mencari jawapan atas suatu persoalan yang singgah di fikiran mereka. Ditemani seorang muridnya, Abu Nawas menyambut mereka dan mempersilakan mereka menyampaikan pertanyaan.

 

Orang pertama berujar, “Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih utama, orang yang melakukan dosa-dosa besar atau orang yang melakukan dosa-dosa kecil?”

 

Jawab Abu Nawas, “Orang yang melakukan dosa-dosa kecil, sebab lebih mudah diampuni oleh Allah SWT.”

 

Orang pertama puas mendengar jawapan Abu Nawas sebab ia memang yakin seperti itu.

 

Kemudian orang kedua bertanya, “Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”

 

Jawab Abu Nawas, “Orang yang tidak mengerjakan keduanya, sebab dengan demikian ia tentu tidak memerlukan pengampunan dari Allah SWT.”

 

Orang kedua pun puas mendengar penjelasan Abu Nawas.

 

Giliran orang ketiga bertanya, “Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih utama, orang yang melakukan dosa-dosa besar atau orang yang melakukan dosa-dosa kecil?”

 

Jawab Abu Nawas, “Orang yang melakukan dosa-dosa besar, sebab pengampunan Allah SWT yang diterimanya juga akan besar. Ia sangat beruntung memperoleh rahmat yang demikian.”

 

Orang ketiga pun puas mendengar penuturan Abu Nawas. Kemudian ia dan dua temannya segera pulang.

 

Setelah ketiga orang itu pergi, murid Abu Nawas bertanya, “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawapan yang berbeza-beza?”

 

Dengan sabar Abu Nawas menjelaskan, “Aku menjawab berdasarkan tingkat pemahaman ketiga orang itu, yang aku tahu berbeza satu dengan lainnya. Tingkat pemahaman manusia dibagi menjadi tiga, yakni tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati.”

 

“Apa itu tingkatan mata?” murid itu makin penasaran.

 

“Orang yang memahami hanya berdasarkan apa yang terlihat. Ibarat anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bintang itu kecil sebab begitulah yang terlihat oleh matanya.”

 

“Kalau begitu, apa itu tingkatan otak?”

 

“Orang yang memahami karena kepandaiannya. Ia akan mengatakan bintang itu besar karena ia memang mengetahuinya.”

 

“Lalu, apakah tingkatan hati itu?”

 

“Orang pandai yang tidak hanya menggunakan otak, tetapi juga hati untuk memahami segala sesuatu. Ia akan mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang berukuran besar, karena hatinya yakin bahwa tidak ada yang sanggup menandingi kemahabesaran Allah SWT.”

 

Demikianlah kisah Abu Nawas favorit saya.

 

Orang yang berada pada tingkatan hati bukanlah mereka yang menganggap agama sekadar visualisasi dari tradisi nenek-moyang. Mereka juga bukan orang-orang yang ber-Islam karena ketundukannya pada orangtua, guru, atau tetangga yang kebetulan Muslim.

 

Mereka adalah orang yang beriman karena ilmu dan kepandaiannya. Mereka berani menggugat dan bertanya demi mencapai kebenaran, seperti Nabi Ibrahim yang mempertanyakan kebesaran Lata dan Uzza; seperti Ibunda Mariam yang mempertanyakan kabar dari Malaikat akan kelahiran Isa; seperti pula para Malaikat yang mempertanyakan keputusan Allah SWT untuk menjadikan Nabi Adam khalifah di muka bumi.

 

Orang-orang yang berada pada tingkatan hati pun bukan mereka yang gemar duduk seharian di laman surau yang teduh, melainkan mereka yang berani turun ke kampung dan mengamati gejala-gejala sosial, mencari hikmah dari alam semesta, mempelajari teknologi, lalu dari situ mereka memperoleh keyakinan akan kewujudan Allah SWT.

 

Saya percaya, tingkatan hati hanya dapat dicapai apabila kita mempelajari ilmu setinggi mungkin dengan tetap menundukkan hati serendah mungkin. Semakin kita belajar, semakin kita sadar bahwa banyak yang belum kita tahu, dan semakin yakin kita akan kebesaran Allah SWT yang maha luas ilmu-Nya.

Mohon benarkan bila saya salah.

Sumber

 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan